Tuesday 17 November 2015

TUGAS TERSTRUKTUR TEKNOLOGI KONSERVASI SUMBERDAYA LAHAN “ASPEK HUKUM”



I.     FAKTA

Berdasarkan hasil praktikum lapang yang dilakukan di Dusun Kekep, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu didapatkan data aktual atau fakta yang sesuai dengan kondisi lahan di pos III  sebagaimana budidaya pertanian pada lahan dan daerah aliran sungai yang meliputi:
1.             Data kepekaan tanah terhadap erosi dan longsor (iklim, tanah, elevasi, dan lereng)
a. Iklim  : Tropis
b.    Tanah : Lithis Udipsamments, Aquepts, Andepts
c.    Lereng: Satuan Peta Lahan (SPL) I  =  280 ; 53%
Satuan Peta Lahan (SPL) II             =  270 ; 33%
Satuan peta Lahan (SPL) III                        = 260; 14%
d.   Tingkat bahaya erosi:
Satuan Peta Lahan (SPL) I               =  sedang
Satuan Peta Lahan (SPL) II             =  ringan
Satuan peta Lahan (SPL) III                        = ringan
e.    Hasil perhitungan indeks erodibilitas:
Jenis tanah Lithis Udipsamments     : 0,331
Jenis tanah Aquepts                          : 0,6591
Jenis tanah Andepts                          : 0,2852
Dilihat dari data tersebut diatas, dapat dikatakan bahwa kepekaan tanah terhadap erosi adalah sedang. Pada pos III ini, di SPL I, II, III kelerengannya secara berturut-turut adalah curam (53%), agak curam (33%) dan agak miring/bergelombang (14%), sehingga bahaya erosinya pun tergolong ringan hingga sedang tergantung SPL. Kemudian untuk erosinya, pada SPL I berdasarkan simulasi, terjadi erosi selokan dan alur. Pada SPL II dan III terjadi erosi alur. Jika dilihat dari hasil perhitungan erodibilitas (kepekaan tanah terhadap erosi), menunjukkan angka yang cukup rendah pula. Jadi, bahaya longsor pun tidak terlalu besar.
 


2.          Data pengendalian erosi (identifikasi dan delinieasi daerah rawan longsor serta teknik pengendalian longsor)
Tingkat erosi yang terjadi pada SPL 1 adalah sedang, SPL 2 dan SPL 3 adalah ringan. Untuk mengendalikan erosi pada SPL 1 ialah dengan penanaman tanaman pohon atau tertutup oleh tanaman untuk makanan ternak dan tidak digunakan untuk pertanian tanaman semusim. Pada SPL 2 tidak dapat digunakan untuk tanaman semusim, namun cocok dijadikan hutan. Lalu pada SPL 3 memang tidak memiliki kelerengan yang curam, sehingga masih dapat digunakan untuk tanaman semusim. Erosi ringan yang terjadi dapat diatasi dengan pengolahan tanah konservasi.
Untuk menghindari atau mengendalikan erosi, petani di Dusun Kekep menggunakan cara mekanis, yakni dengan pembuatan terasiring dan guludan pada lahan yang diusahakannya serta pembuatan plengsengan di tepian lahan di sekitar aliran sungai agar tanaman yang dibudidayakan terhindar dari erosi.


3.        Data sistem usahatani konservasi (prinsip usahatani konservasi, pengendalian longsor, komponen teknik sistem usahatani konservasi)
Prinsip usahatani konservasi yang dilakukan oleh petani di Dusun Kekep khususnya di pos III adalah dengan cara:
a.    Mengurangi   sekecil   mungkin   aliran air permukaan dan meresapkan airnya sebesar mungkin ke dalam tanah dengan cara membuat guludan. Selain itu di Plot III juga terdapat semacam selokan dari puncak Plot I sampai ujung bawah plot II guna mengalirkan air hujan ke sungai kecil/ parit di bawah untuk menghindari adanya aliran permukaan/ run off sehingga dapat mencegah tanah terbawa aliran air hujan agar tidak terjadi erosi/longsor.
b.    Memperkecil  pengaruh  negatif  air  hujan yang jatuh pada permukaan tanah dengan cara tidak melakukan pengaturan jarak tanam pada tanaman wortel. Jadi tidak adanya pengaturan jarak tanam ini akan berpengaruh terhadap kerapatan tajuk / daun wortel, sehingga air hujan yang jatuh tidak langsung menghantam tanah, melainkan melewati proses intersepsi. Proses intersepsi ini mengurangi  energi kinetik air hujan dengan cara air hujan jatuh melewati daun terlebih dahulu, energi kinetiknya menjadi kecil dan partikel air hujan yang jatuh ke tanah ukurannya lebih kecil sehingga dapat memperkecil pengaruh negatif air hujan yang jatuh pada permukaan tanah. Selain itu tanaman wortel itu sendiri juga berfungsi sebagai penutup lahan.
c.    Memanfaatkan  semaksimal mungkin sumber daya alam dengan memperhatikan kelestarian dengan cara membiarkan semak-semak yang bercampur dengan tanaman tahunan tetap ada di plot pengamatan I. Lahan ini memiliki peran sebagai daerah resapan air yang bermanfaat untuk meningkatkan infiltrasi dan mengurangi aliran permukaan/ run off sehingga dapat mencegah erosi ataupun longsor.
4.             Data jenis komoditas tanaman (persyaratan fisiologis dan agronomis)
Tanaman yang ditanam pada POS 3 ialah berupa tanaman wortel, bawang prei dan pohon-pohonan. Menurut syarat fisiologisnya tanaman wortel cocok ditanam disini karena sesuai iklim dari syarat tumbuh tanaman wortel. Menurut literatur, tanaman wortel merupakan sayuran dataran tinggi. Tanaman wortel pada permulaan tumbuh menghendaki cuaca dingin dan lembab (Perdana, 2009). Jadi tanaman wortel termasuk cocok tumbuh di Dusun Kekep karena wilayahnya yang berada di dataran tinggi serta memiliki cuaca dingin dan lembab. Selain itu, dari kenampakan fisik wortel yang ada dilahan, terlihat bahwa wortel disana tumbuh subur. Untuk tanaman cabai, menurut literatur cabai pada umumnya dapat ditanam di dataran rendah sampai pegunungan (dataran tinggi), keadaan tanah yang ideal untuk tanaman cabe adalah yang subur, gembur, kaya akan bahan organik dan tidak mudah becek. Jadi tanaman cabai ini termasuk cocok tumbuh di Dusun kekep karena tanah di plot pengamatan juga tergolong subur, hanya saja lahan cabai sedang diberokan. 
II.    FAKTA HUKUM

a.    Siapa (pelaku, saksi dan korban) perusakan atau kerusakan?
Pelaku dari perusakan lahan di Dusun Kekep ini adalah para petani itu sendiri, sedangkan untuk saksinya yakni petani itu sendiri dan penduduk sekitar lahan pertanian (terutama keluarga petani) dan korbannya adalah masyarakat di daerah hilir.

b.    Apa yang terjadi? (perusakan atau kerusakan lahan)
·         Kerusakan : Alih fungsi lahan, penggunaan pupuk dan pestisida secara intensif, bahan organik (daun, ranting dan lain-lain) yang jatuh ke sungai.
·         Akibat kerusakan : berpotensi erosi, menumpuknya sedimentasi di sungai, sungai menjadi dangkal, debit air berkurang, air sungai terkontaminasi bahan kimia, terjadi pemadatan tanah.

c.    Dimana (lokasi perusakan atau kerusakan yang diikuti dengan berbagai dampaknya)?
Kerusakan dan perusakan tersebut terjadi di Dusun Kekep Kecamatan Bumiaji Kota Batu, Malang. Di Pos III yang kami amati, dampak dari perusakan DAS yang terjadi adalah menurunnya kualitas air karena tercampur dengan residu bahan kimia yang digunakan oleh petani, sedangkan dampak dari penanaman monokultur belum terlihat.
Untuk kerusakannya, dampak yang terjadi adalah longsor dan erosi alur pada bentangan lahan lain yang bukan plot pengamatan, yakni di depan pos pengamatan di seberang DAS.

d.   Dengan apa (kerusakan atau perusakan dapat terjadi)?
·      Kerusakan
-          Erosi dan longsor: dengan jatuhan air hujan
-          Sedimentasi: dengan pecahan agregat tanah yang terbawa air yang mengalami pengendapan
·      Perusakan
-          Penurunan kualitas air: dengan penggunaan bahan kimia oleh petani yang kemudian residunya mengalir ke DAS dan menyebabkan air tercampur dengan residu

e.    Mengapa kerusakan atau perusakan dapat terjadi?
Kerusakan yang terjadi (longsor dan erosi alur) disebabkan oleh jatuhan air hujan yang mengahntam tanah dan menyebabkan agregat tanah pecah dan terbawa aliran air hujan. Kerusakan pada DAM terjadi karena sedimentasi, sedimentasi ini terjadi karena adanya pengendapan oleh pecahan agregat tanah.  Sedangkan perusakannya disebabkan oleh penggunaan bahan kimia oleh petani, sehingga air mengalami penurunan kualitas.

f.     Bagaimana kronologi kerusakan atau perusakan dapat terjadi?
Petani membuka lahan yang dahulunya hutan dengan banyak tanaman tahunan atau bisa disebut hutan alami, kemudian dialihfungsikan untuk lahan pertanian. Lahan pertanian tersebut banyak digunakan oleh petani untuk menanam tanaman hortikultura, yang rata-rata tanaman yang dbudidayakan adalah tanaman semusim. Pola pertanaman monokultur yang terus-menerus dilakukan berdampak kerusakan pada lahan. Kerusakan yang terjadi diantaranya adalah tanah longsor dan erosi. Kemudian, petani juga menggunakan bahan-bahan kimia (pestisida, pupuk kimia) untuk merawat tanamannya. Dengan penggunaan pestisida secara terus-menerus dan besar-besaran berdampak pada kualitas air yang masuk pada perusakan. Kronologi dari adanya penurunan kualitas air adalah bahan kimia (pestisida, pupuk kimia) yang terakumulasi dengan air yang kemudian masuk pada saluran drainase dan akhirnya terbawa sampai ke DAS. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa kualitas air di DAS menurun.

g.    Bilamana kerusakan atau perusakan terjadi?
Kerusakan terjadi hingga jangka waktu yang tidak diketahui. Kerusakan seperti erosi akan dapat terus terjadi selama tindakan konservasi usaha tani belum dilakukan oleh petani setempat.









III.    NORMA HUKUM

PERATURAN MENTERI PERTANIAN
NOMOR : 47/Permentan/OT.140/10/2006

1.    Faktor Kepekaan Tanah Terhadap Erosi Dan Longsor
(1)   Penggundulan hutan di DAS hulu atau zona tangkapan hujan akan mengurangi resapan air hujan, dan karena itu akan memperbesar aliran permukaan.
(2)   Budidaya pertanian pada DAS tengah atau zona konservasi  yang tidak tepat akan memicu terjadinya longsor dan/atau erosi.
(3)   Air yang meresap ke dalam lapisan tanah di zona tangkapan  hujan dan konservasi akan keluar berupa sumber-sumber air yang ditampung di badan-badan air seperti sungai, danau, dan waduk untuk pembangkit listrik, irigasi, air minum, dan penggelontoran kota.
Faktor yang mempengaruhi terjadinya longsor dan erosi adalah faktor alam dan faktor manusia.
a)      Iklim
Curah hujan adalah salah satu unsur iklim yang besar perannya terhadap kejadian longsor dan erosi. Air hujan yang terinfiltrasi ke dalam tanah dan menjenuhi tanah menentukan terjadinya longsor, sedangkan pada kejadian erosi, air limpasan permukaan adalah unsur utama penyebab terjadinya erosi.
Hujan dengan curahan dan intensitas yang tinggi, misalnya 50 mm dalam waktu singkat (<1 berpotensi="" curahan="" dalam="" dengan="" dibanding="" erosi="" hujan="" jam="" lama="" lebih="" menyebabkan="" namun="" sama="" waktu="" yang="">1 jam). Namun curah hujan yang sama tetapi berlangsung lama (>6 jam) berpotensi menyebabkan longsor, karena pada kondisi tersebut dapat terjadi penjenuhan tanah oleh air yang meningkatkan massa tanah. Intensitas hujan menentukan besar kecilnya erosi, sedangkan longsor ditentukan oleh kondisi jenuh tanah oleh air hujan dan keruntuhan gesekan bidang luncur. Curah hujan tahunan >2000 mm terjadi pada sebagian besar wilayah Indonesia. Kondisi ini berpeluang besar menimbulkan erosi, apalagi di wilayah pegunungan yang lahannya didominasi oleh berbagai jenis tanah.


b)      Tanah
Kedalaman atau solum, tekstur, dan struktur tanah menentukan besar kecilnya air limpasan permukaan dan laju penjenuhan tanah oleh air. Pada tanah bersolum dalam (>90 cm), struktur gembur, dan penutupan lahan rapat, sebagian besar air hujan terinfiltrasi ke dalam tanah dan hanya sebagian kecil yang menjadi air limpasan permukaan. Sebaliknya, pada tanah bersolum dangkal, struktur padat, dan penutupan lahan kurang rapat, hanya sebagian kecil air hujan yang terinfiltrasi dan sebagian besar menjadi aliran permukaan.
c)      Elevasi
Elevasi adalah istilah lain dari ukuran ketinggian lokasi di atas permukaan laut. Lahan pegunungan berdasarkan elevasi dibedakan atas dataran medium (350-700 m dpl) dan dataran tinggi (>700 m dpl). Elevasi berhubungan erat dengan jenis komoditas yang sesuai untuk mempertahankan kelestarian lingkungan. Badan Pertanahan Nasional menetapkan lahan pada ketinggian di atas 1000 m dpl dan lereng >45% sebagai kawasan usaha terbatas, dan diutamakan sebagai kawasan hutan lindung. Sementara, Departemen Kehutanan menetapkan lahan dengan ketinggian >2000 m dpl dan/atau lereng >40% sebagai kawasan lindung.
d)     Lereng
Lereng atau kemiringan lahan adalah salah satu faktor pemicu terjadinya erosi dan longsor di lahan pegunungan. Peluang terjadinya erosi dan longsor makin besar dengan makin curamnya lereng.
Makin curam lereng makin besar pula volume dan kecepatan aliran permukaan yang berpotensi menyebabkan erosi. Selain kecuraman, panjang lereng juga menentukan besarnya longsor dan erosi. Makin panjang lereng, erosi yang terjadi makin besar. Pada lereng >40% longsor sering terjadi, terutama disebabkan oleh pengaruh gaya gravitasi. Kondisi wilayah/lereng dikelompokkan sebagai berikut :
Datar               : lereng <3 beda="" dengan="" m.="" span="" tinggi="">
Berombak        : lereng 3-8%, dengan beda tinggi 2-10 m.
Bergelombang : lereng 8-15%, dengan beda tinggi 10-50 m.
Berbukit          : lereng 15-30%, dengan beda tinggi 50-300 m.
Bergunung       : lereng >30%, dengan beda tinggi >300 m.
Erosi dan longsor sering terjadi di wilayah berbukit dan bergunung, tertama pada tanah berpasir (Regosol atau Psamment), Andosol (Andisols), tanah dangkal berbatu (Litosol atau Entisols), dan tanah dangkal berkapur (Renzina atau Mollisols). Di wilayah bergelombang, intensitas erosi dan longsor agak berkurang, kecuali pada tanah Podsolik (Ultisols), Mediteran (Alfisols), dan Grumusol (Vertisols) yang terbentuk dari batuan induk batu liat, napal, dan batu kapur dengan kandungan liat 2:1 (Montmorilonit) tinggi, sehingga pengelolaan lahan yang disertai oleh tindakan konservasi sangat diperlukan. Dalam sistem budidaya pada lahan berlereng >15% lebih diutamakan campuran tanaman semusim dengan tanaman tahunan atau sistem wanatani (agroforestry).

2.    Faktor Pengendalian Erosi
Tiap jenis tanah mempunyai tingkat kepekaan terhadap longsor yang berbeda. Langkah antisipatif yang perlu dilakukan adalah memetakan sebaran jenis tanah pada skala 1:25.000 atau skala lebih besar (1:10.000; 1:5.000) pada hamparan lahan yang menjadi sasaran pembangunan pertanian tanaman hortikultura, tanaman pangan, atau tanaman perkebunan. Berdasarkan peta-peta tersebut dapat didelineasi bagian-bagian dari hamparan lahan yang peka terhadap longsor dengan menggunakan nilai atau skor seperti dalam Tabel 2.
Kepekaan tanah terhadap longsor dinilai dengan cara menjumlahkan skor dari masing-masing faktor. Tanah dengan jumlah skor 6-10 digolongkan sebagai lahan dengan tingkat kepekaan rendah, skor 11-15 kepekaan sedang, dan 16-22 kepekaan tinggi. Lahan dengan tingkat kepekaan tinggi tidak direkomendasikan untuk budidaya pertanian, pembangunan infrastruktur, atau perumahan, tetapi dipertahankan sebagai vegetasi permanen (hutan).
Tabel 1. skor hubungan faktor biofisik dan tingkat kepekaan longsor di lahan pegunungan.
Faktor Biofisik
Nilai (skor)




Curah hujan (mm)
<1500 span="">
1500-2500 (3)
>2500 (5)
Bahan induk
Batuan volkanik (1)
Batuan metamorfik (2)
Batuan sedimen (3)
Lereng (%)
15-25 (1)
25-40 (3)
>40 (5)
Kandungan liat 2:1
Rendah (1)
Sedang (2)
Tinggi (3)
Laju Infiltrasi
Lambat (1)
Sedang (2)
Cepat (3)
Kedalaman lapisan kedap air (cm)
>100 (1)
50-100 (2)
<50 span="">
Angka dalam kurung menyatakan skor untuk karakteristik iklim dan tanah di daerah setempat.
Penerapan teknik pengendalian longsor didasarkan atas konsep pengelolaan DAS. Dalam hal ini kawasan longsor dibagi ke dalam tiga zona (Gambar 4), yaitu : (1) hulu, zona paling atas dari lereng yang longsor, (2) punggung, zona longsor yang berada di antara bagian hulu dan kaki kawasan longsor, dan (3) kaki, zona bawah dari lereng yang longsor dan merupakan zona penimbunan atau deposisi bahan yang longsor.

3.    Faktor Sistem Usahatani Konservasi
a)      Prinsip Usahatani Konservasi
Budidaya pertanian di lahan pegunungan meliputi dua kegiatan pokok, yaitu kegiatan usahatani dan konservasi. Kedua kegiatan pada sebidang lahan pertanian terintegrasi menjadi sistem usahatani (SUT) konservasi.
Tabel 2 menunjukkan matrik pemilihan konservasi tanah mekanis dan komposisi tanaman semusim dan tanaman tahunan berdasarkan kondisi kemiringan lahan, kedalaman tanah, dan kepekaan tanah terhadap erosi lahan usahatani. Teras bangku tidak dianjurkan pada tanah yang bersolum dangkal dan kemiringannya sangat terjal (>40%). Pada tanah yang dangkal dianjurkan membuat teras gulud, budidaya lorong, atau pagar hidup. Pembuatan teras bangku relatif lebih mahal dan lebih sulit dibandingkan dengan teknik konservasi mekanis lainnya. Dengan mempertimbangkan faktor biaya dan tingkat kesulitan pembuatannya, disarankan untuk memilih teknik konservasi tanah selain teras bangku. Semua jenis teras harus disertai dengan penanaman tanaman penguat teras, seperti rumput dan legum yang juga merupakan sumber pakan ternak. Tanaman tahunan yang ada pada sistem pertanaman lorong dan pagar hidup dapat diperhitungkan sebagai bagian dari tanaman tahunan seperti pada kolom 9.





Tabel 2.Pedoman pemilihan teknologi konservasi tanah secara mekanis dan vegetatif berdasarkan tingkat kemiringan lahan, erodibilitas tanah dan kedalaman solum (P3HTA dengan modifikasi).
b)   Teknik Pengendalian Erosi
Secara garis besar, teknik pengendalian erosi dibedakan menjadi dua, yaitu teknik konservasi mekanik dan vegetatif. Konservasi tanah secara mekanik adalah semua perlakuan fisik mekanis dan pembuatan bangunan yang ditujukan untuk mengurangi aliran permukaan guna menekan erosi dan meningkatkan kemampuan tanah mendukung usahatani secara berkelanjutan. Pada prinsipnya konservasi mekanik dalam pengendalian erosi harus selalu diikuti oleh cara vegetatif, yaitu penggunaan tumbuhan/tanaman dan sisa-sisa tanaman/tumbuhan (misalnya mulsa dan pupuk hijau), serta penerapan pola tanam yang dapat menutup permukaan tanah sepanjang tahun.
c)    Komponen Teknologi SUT Konservasi
SUT Konservasi mengintegrasikan dan mensinergikan tanaman di bidang olah, tanaman penguat bibir teras dan ternak ruminansia kecil atau besar yang dikandangkan di pekarangan rumah (jarang berteras). Integrasi dan sinergi tersebut harus menguntungkan petani. Konservasi menjamin keuntungan dari usahatani yang berkelanjutan. Komponen teknologi SUT Konservasi dari sisi tanaman dikemukakan berikut ini.
1)      Pengaturan pola tanam pada bidang olah
Faktor yang perlu dipertimbangkan dalam penyusunan pola tanam adalah iklim, tingkat kesuburan tanah, ketersediaan tenaga kerja, dan permintaan pasar. Faktor iklim yang paling penting adalah curah hujan, terutama jumlah bulan basah dengan curah hujan >200 mm, jumlah bulan kering dengan curah hujan <100 100-200="" 4="" basah="" berbagai="" berturut-turut="" bulan="" cocok="" curah="" daerah="" dan="" dapat="" dengan="" ditanami="" gogo.="" gude="" hijau="" hujan="" kacang="" kekeringan="" kemungkinan="" kering="" komak.="" masih="" mempunyai="" mm.="" mm="" padi="" palawija.="" panjang="" sayuran="" sedang="" selama="" semusim="" seperti="" span="" tanaman="" tiga="" toleran="" tunggak="" untuk="" yang="">
2)      Pengenalan sistem wanatani
Wanatani merupakan sistem usahatani yang menggabungkan tanaman tahunan (kayu-kayuan) dengan komoditas lain yang saling menguntungkan. Wanatani sering disamakan dengan sistem pertanaman lorong (alley cropping).
3)      Pagar hidup
Pagar hidup adalah tanaman tahunan yang ditanam mengikuti batas pemilikan lahan. Tujuannya adalah untuk mengamankan lahan dari ternak, penahan angin, dan pengendali erosi. Pagar hidup berfungsi sebagai sumber pakan ternak, mulsa penyubur tanah, bahan organik, dan kayu bakar. Tanaman buah-buahan seperti nangka, alpukat, jengkol, dan petai sering digunakan sebagai tanaman pagar hidup.




Related Articles

0 comments:

Post a Comment

pangestu.yuda. Powered by Blogger.