Tuesday 13 March 2012

Pengerahan Tenaga Pada Cocok-Tanam di Sawah



Salah satu cara untuk mengerahkan tenaga tambahan untuk pekerjaan bercocok-tanam secara tradisional dalam komunitas pedesaan adalah sistem bantu-membantu yang di Indonesia kita kenal dengan istilah "gotong-royong".
Di Indonesia, dan khususnya di Jawa, aktivitas gotong-royong biasanya tidak hanya menyangkut lapangan bercocok-tanam saja, tetapi juga menyangkut lapangan kehidupan sosial lainnya seperti:
1.      Dalam hal kematian, sakit, atau kecelakaan, di mana keluarga yang sedang menderita itu mendapat pertolongan berupa tenaga dan benda dari tetangga-tetangganya dan orang-orang lain sedesa.
2.      Dalam hal pekerjaan sekitar rumah tangga, misalnya memperbaiki atap rumah, mengganti dinding rumah, membersihkan rumah dari hama tikus, menggali sumur, dan sebagainya, untuk mana pemilik rumah dapat minta bantuan tetangga-tetangganya yang dekat, dengan memberi jamuan makan.
3.      Dalam hal pesta-pesta, misalnya pada waktu mengawinkan anaknya, bantuan tidak hanya dapat diminta dari kaum kerabatnya, tetapi juga dari tetangga-tetangganya, untuk persiapan dan penyelenggaraan pestanya.
4.      Dalam mengerjakan pekerjaan yang berguna untuk kepentingan umum dalam masyarakat desa, seperti memperbaiki jalan, jembatan, bendungan irigasi, bangunan umum dan sebagainya, untuk mana penduduk desa dapat tergerak untuk bekerja bakti atas perintah dari kepala desa.
 Di banyak daerah pedesaan di Jawa sistem gotong-royong dalam lapangan bercocok-tanam juga berkurang, dan diganti dengan sistem memburuh. Upah untuk membayar tenaga buruh da­pat berupa (i) upah secara adat, dan (ii) upah berupa uang.
Upah berupa uang adalah suatu cara membayar buruh tani yang sudah lazim juga di seluruh Indonesia. Walaupun cara ini merupakan suatu sistem yang
relatif baru di Indonesia, di Jawa sudah dikenal se­jak pertengahan abad ke-19 yang lalu. Para petani sering memiliki bantuan tenaga buruh yang tetap, yang memberi bantuan dalam per­tanian pada waktu-waktu sibuk, dan yang juga membantu dalam rumah tangga pada waktu-waktu senggang.
Masa kini, terutama dalam produksi bercocok-tanam terjadi proses   pergeseran dari cara pengarahan tenaga bantuan di luar rumah-tangga dengan gotong-royong ke cara dengan menyewa buruh.

TABEL III-2. Jumlah Rata-rata Jam Kerja Bagi Tiap Individu Pada Satu Hektar Sawah di Daerah Bagelen (1958).
Aktivitas produksi
Tenaga gotong-royong
Tenaga buruh
Tenaga hewan
Pria
Wanita
Anak

Mempersiapkan sawah dan sistem irigasi*
Mempersiapkan tempat pe-
semaian*
Menanam biji*
Membajak-mencangkul sa-
wah (dua kali)
Menggaru sawah (dua kali)
Mempersiapkan benih* Menanam benih
Matun*
Menuai


Akhir-akhir ini malahan timbul keadaan yang lebih gawat lagi. Di banyak tempat di Jawa adat para petani pemilik tanah untuk membagi hasil panen mereka dengan buruh tani mulai mencapai batas kemampuannya.
Mereka membantu dengan semangat gotong-royong, dan menurut adat boleh membawa pulang sebagian dari jumlah padi yang mereka potong. Kerabat-kerabat dan para teman dekat yang turut membantu seringkali menerima seperenam sampai seperlima bagian; tetangga atau kenalan jauh menerima seperdelapan sampai sepersepuluh bagian; dan wanita-wanita yang pekerjaannya memang buruh pemotong padi dan yang setiap musim panen berkeliling dari desa yang satu ke desa lain untuk memotong padi, menerima sekitar sepersepuluh bagian dari hasil yang mereka potong. Bagian yang diperoleh para kerabat, tetangga, dan buruh pemotong tadi disebut dengan istilah adat Jawa, bawon.
Pada zaman sekarang, di mana jumlah kerabat, tetangga, kenalan dan buruh yang datang membantu memotong padi itu sudah sekitar 40 orang, tentu sangat berat bagi petani pemilik sawah itu untuk mempertahankan adat berdasarkan sistem gotong-royong bawon itu.
Contoh lain dari proses tergesernya adat gotong-royong oleh sistem baru dengan menyewa buruh tani wanita adalah adat menumbuk padi secara tradisional.
Proses pergeseran dari cara pengerahan tenaga tani dan sistem gotong-royong menjadi sistem menyewa buruh tani, antara lain terdorong oleh murahnya tenaga buruh tani, terutama di Jawa.
Dalam contoh terakhir, adat pengerahan tenaga pembantu dalam produksi pangan tergeser oleh teknologi baru, namun pada umumnya proses penggeseran cara pengerahan tenaga tani dan gotong-royong menjadi menyewa buruh tani itu, antara lain disebabkan karena tenaga buruh tani itu menjadi sangat murah.
Adapun sangat murahnya biaya menyewa buruh tani itu disebabkan karena makin bertambahnya jumlah petani yang tidak memiliki tanah, atau petani yang hanya memiliki tanah yang sangat kecil sehingga tidak cukup menghasilkan untuk memberi makan satu keluarga Jawa sepanjang musim.

Related Articles

0 comments:

Post a Comment

pangestu.yuda. Powered by Blogger.